Telco

Opensignal: Peringkat Indonesia Naik, Kecepatan Masih Tertinggal

Aisyah Banowati
Opensignal: Peringkat Indonesia Naik, Kecepatan Masih Tertinggal

Uzone.id – Indonesia menunjukkan kemajuan signifikan dalam Indeks Keunggulan Jaringan Global Opensignal. Data menunjukkan bahwa Indonesia berhasil menduduki peringkat ke-58 secara global pada Q1 2025.

Jika ditelusuri lebih lanjut, Indonesia mencatatkan beberapa poin menarik. Salah satunya, Indonesia duduk pada peringkat ke-21 dalam ketersediaan 4G/5G. 

Meskipun ada peningkatan 0,2 poin persentase dalam pangsa waktu yang dihabiskan pengguna untuk 4G dan 5G, namun Indonesia tetap turun empat peringkat.

Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia mengalami peningkatan, namun kecepatannya masih kalah dibandingkan negara lain.




Indonesia juga berhasil naik dua peringkat untuk kecepatan unduhan 4G. Saat ini, Indonesia berada di posisi ke-86. Kecepatannya juga meningkat 1,0 Mbps menjadi 25,6 Mbps selama tiga bulan pertama tahun 2025. 

Kemudian, untuk Kualitas Konsisten yang Sangat Baik, Indonesia turun dua peringkat ke posisi ke-54. Meskipun skornya sebenarnya tidak banyak berubah, hanya -0,1 persen poin. 

Penurunan peringkat tersebut menunjukkan bahwa negara lain mengalami peningkatan konsistensi kualitas jaringan yang lebih cepat dari Indonesia.

Sayangnya, Opensignal tidak memasukkan kecepatan unduhan 5G dalam penilaiannya. Menurut Opensignal, hal ini karena 5G belum diluncurkan secara komersial secara nasional di Indonesia.

Data juga menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat ke-22 dari negara-negara dengan wilayah daratan yang luasnya lebih dari 200.000 km², masih di bawah negara-negara seperti Australia, Selandia Baru, dan Vietnam.

Namun, jika diukur secara regional, Indonesia berada di peringkat ke-13 di Asia Selatan, Asia Timur, dan Pasifik. Masih di belakang negara-negara seperti Malaysia dan Thailand yang semuanya tengah gencar meluncurkan dan meningkatkan jaringan 5G.





Menurut artikel Opensignal, pembangunan infrastruktur jaringan di Indonesia memang menghadapi tantangan besar. Ini karena Indonesia adalah negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau, sehingga perlu upaya ekstra untuk menghubungkan seluruh wilayahnya.

Membangun jaringan telepon tetap di daerah terpencil hingga pegunungan membutuhkan banyak modal dan rumit secara logistik. Akibatnya, pertumbuhan digital Indonesia sangat bergantung pada perangkat seluler.

Data dari GSMA Intelligence menunjukkan bahwa penetrasi pita lebar tetap hanya mencapai 21 persen rumah tangga pada akhir tahun 2024, yang menggarisbawahi terbatasnya jangkauan solusi pita lebar tradisional dan jalan Indonesia menuju "lompatan" seluler.

Sebaliknya, penetrasi pita lebar seluler berada pada 121 langganan per 100 penduduk, yang mencerminkan perannya sebagai gerbang utama ke internet. Data dari GSMA  Intelligence juga menunjukkan bahwa 70 persen penduduk perkotaan sudah menggunakan internet seluler, dengan 66 persen di antaranya mengakses internet setiap hari. 

Ini membuktikan bahwa internet seluler bukan lagi barang mewah, melainkan kebutuhan pokok. Sementara itu, Opensignal turut memberikan gambaran lebih detail:

  • Satu dari lima pengguna seluler biasanya tidak pernah terhubung ke Wi-Fi.
  • Sebanyak 22,5 persen lainnya sangat jarang terhubung ke Wi-Fi, yakni kurang dari 10 persen dari total waktu mereka online.

Untuk mengatasi kesenjangan ini, pemerintah kemudian melakukan inisiatif nasional seperti Peta Jalan Indonesia Digital (2021–2024), Strategi AI Nasional (2020–2045), dan Making Indonesia 4.0. 

Investasi infrastruktur melalui kabel bawah laut, internet satelit, dan kemitraan publik-swasta seperti proyek Palapa Ring membantu memperluas akses ke daerah terpencil dan kurang terlayani. Semuanya bertujuan untuk mempercepat transformasi digital.

Tantangan Indonesia dalam Pengembangan 5G

Indonesia telah berupaya mengembangkan 5G dan memodernisasi jaringannya, namun ada beberapa hambatan yang memperlambat kemajuan. 

Salah satu kendala utama adalah keterbatasan dan fragmentasi spektrum pita tengah yang sangat krusial untuk performa 5G yang optimal. Akibatnya, Indonesia tertinggal dari negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam. 

Meskipun layanan 5G komersial telah diluncurkan oleh Telkomsel, Indosat Ooredoo Hutchison, dan XL Axiata mulai tahun 2021 menggunakan spektrum pada pita 1800MHz, 2100MHz, dan 2300MHz, kemajuannya lambat dan terfragmentasi.

Meskipun fokus pada 5G, Indonesia tetap menjadi pasar yang mengutamakan 4G. Data dari GSMA Intelligence menunjukkan bahwa pada tahun 2024, 4G mencakup 92 persen dari semua koneksi seluler, dan diperkirakan akan tetap menjadi teknologi seluler yang dominan setidaknya hingga tahun 2027.

Saat ini, pemerintah sedang memodernisasi regulasi agar investasi jaringan lebih efisien. Selama ini, operator menghadapi proses perizinan yang rumit dan biaya spektrum tahunan yang tinggi. Selain itu, lelang spektrum sebelumnya menyebabkan kepemilikan yang terfragmentasi, mengurangi efisiensi dan menaikkan biaya.

Kabar baiknya, rancangan peta jalan digital pemerintah untuk 2025–2029 sudah mengatasi banyak masalah tersebut. Termasuk mengusulkan pengurangan biaya untuk spektrum 5G (tidak lebih dari 50% dari tarif 4G).

Selain itu, pemerintah juga akan memberikan insentif bagi operator yang membangun jaringan di pedesaan, dengan akses spektrum yang lebih terjangkau.

Reformasi ini diharapkan bisa membuat perencanaan investasi lebih terprediksi dan mempercepat peluncuran 5G secara lebih luas. Dengan begitu, kebijakan ini akan mendukung tujuan Indonesia menjadi pemimpin digital regional.

Dalam laporan Indeks Keunggulan Jaringan Global, Opensignal mengidentifikasi kebijakan dan regulasi seperti spektrum, perizinan, infrastruktur, dan akses yang bisa langsung meningkatkan kualitas pengalaman (QoE) pengguna. 

Berdasarkan hal itu, berikut adalah lima prioritas strategis untuk mempercepat pengembangan jaringan seluler di Indonesia yang disarankan oleh Opensignal, yakni:

  1. Memajukan reformasi spektrum dan mengalokasikan spektrum pita tengah tambahan untuk mendukung perluasan kapasitas dan layanan generasi berikutnya.
  2. Mempromosikan model host netral dan berbagi infrastruktur yang lebih besar antara operator.
  3. Meningkatkan kapasitas backhaul dengan menghubungkan menara ke fiber berkecepatan tinggi.
  4. Aktifkan konektivitas satelit untuk pulau-pulau terpencil. Dengan lebih dari 17.000 pulau, internet satelit akan menjadi alat penting untuk menjangkau wilayah yang kurang terlayani.
  5. Penyederhanaan perizinan infrastruktur dan prosedur alokasi spektrum.