Malangnya Nasib Data Center RI Jika Pemerintah Transfer Data WNI ke AS

Uzone.id — Perjanjian dagang antara Amerika Serikat dan Indonesia mengenai pemindahan data pribadi dari Indonesia ke AS terus menimbulkan polemik yang cukup serius di rakyat kalangan masyarakat.
Menteri Komdigi Meutya Hafid menjamin bahwa kesepakatan soal data pribadi ini tidak akan dilakukan secara sembarangan dan dilakukan dalam kerangka yang secure and reliable tanpa mengorbankan hak-hak warga negara.
Meski disahkan secara hukum, namun pemindahan data pribadi dari Indonesia ke luar wilayah (khususnya ke AS) akan menimbulkan dampak yang ‘memberatkan’ untuk salah satu pihak.
Ada beberapa hal yang setidaknya akan terjadi ketika perjanjian ini benar-benar disepakati dan disahkan (Which is, sudah sepakat). Salah satunya soal penggunaan cloud hingga nasib data center di Indonesia.
Alfons Tanujaya, pakar siber dari Vaksincom menjelaskan kalau dengan adanya perjanjian ini, penggunaan cloud data perbankan dan institusi lain akan menjadi lebih fleksibel dan tidak harus ditempatkan di Indonesia.
Selain itu, data center di Indonesia seperti AWS, Google, Microsoft dan lainnya jadi tidak harus membuka data center di Indonesia karena pemindahan data pribadi di AS sudah dilegalkan dan terbuka lebar.
“Kasihan layanan cloud lokal. Tanpa pembebasan data ke US saja sudah setengah mati bersaing. Apalagi sekarang,” ujarnya.
Dampak lain yang berpotensi terjadi adalah kemungkinan aplikasi-aplikasi dari AS, khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan data seperti World ID akan mendapat lampu hijau untuk menjalankan aktivitas mereka asalkan data tersebut disimpan di luar negerinya di Amerika Serikat.
Alfons menyebut bahwa sebenarnya, lokasi penyimpanan data tidak menentukan keamanan data.
“Tetapi kedisiplinan dan metode penyimpanan data itu yang menentukan keamanan data,” ujarnya.
Jika nantinya pemerintah RI benar-benar mengizinkan data masyarakat dikelola atau disimpan di AS, maka Indonesia harus memberikan persyaratan yang menguntungkan untuk keduanya.
Pertama, perusahaan AS harus tunduk pada UU PDP Indonesia dan audit dari Komisi PDP.
“Data harus dienkripsi dan tidak boleh diakses tanpa persetujuan eksplisit dan harus ada perjanjian bilateral untuk mencegah penyalahgunaan oleh otoritas asing,” kata Alfons.
Dalam kesepakatan ini, poin mentransfer data pribadi ini dilakukan atas dasar Amerika Serikat yang diakui sebagai negara yang menyediakan perlindungan data yang memadai berdasarkan hukum Indonesia.
Namun, Alfons menyebut bahwa secara hukum tertulis (de jure), Indonesia sekarang punya perlindungan data pribadi yang lebih menyeluruh daripada AS. Sayangnya, secara pelaksanaan dan budaya hukum (de facto), AS masih jauh lebih unggul — baik dari sisi penegakan, kesiapan institusi, maupun respon terhadap pelanggaran.