Internet Murah Rp100 Ribu, Mungkinkah? Ini Tantangan untuk Pemerintah

Uzone.id — Rencana pemerintah untuk melelang frekuensi 1,4 GHz di Indonesia sudah semakin matang. Bahkan saat ini, sudah ada 7 penyelenggara yang berminat untuk mendapatkan frekuensi tersebut.
Frekuensi 1.4 GHz ini diharapkan bisa memperluas akses internet tetap (fixed broadband) yang lebih terjangkau bagi masyarakat dengan harga berkisar Rp100 ribu hingga Rp150 ribu.
“Kami ingin menghadirkan internet yang lebih murah bagi masyarakat, dengan tarif berkisar Rp100.000 hingga Rp150.000 per bulan untuk kecepatan hingga 100 Mbps,” ujar Koordinator Kebijakan Penyelenggaraan Infrastruktur Digital Komdigi, Benny Elian dalam diskusi Morning Tech bertajuk 'Lelang Frekuensi, Untuk Siapa?', Senin (24/02).
Namun, sebelum lelang frekuensi dan penerapan internet fixed broadband murah ini digelar, pakar mengingatkan pemerintah untuk memperhatikan beberapa hal. Salah satunya adalah transparansi dan aturan yang ditetapkan.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Mitra Bangsa, Kamilov Sagala, transparansi dalam proses lelang harus dijaga untuk mencegah praktik monopoli.
“Frekuensi adalah sumber daya terbatas yang harus dikelola dengan adil. Jika tidak, hanya segelintir perusahaan yang akan mendapatkan manfaat,” tegas Kamilov.
Tak hanya itu, dengan 7 penyelenggara yang sudah berminat, ia juga mengingatkan akan adanya persaingan ketat dan harga spektrum yang melonjak tinggi apabila lelang hanya berbasis harga.
Maka dari itu, Kamilov dan Sigit Puspito, Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional Mastel, mengusulkan kepada pemerintah untuk menerapkan sistem hybrid. Maksudnya, sistem ini menggabungkan lelang frekuensi dengan penilaian kualifikasi (beauty contest) guna menentukan perusahaan yang paling layak mendapatkan hak penggunaan frekuensi.
Dalam dunia telekomunikasi, berbagai model kompetisi dapat diterapkan dalam pengelolaan frekuensi ini. Sigit menjelaskan bahwa terdapat beberapa opsi, mulai dari Infrastructure-Based Competition, Wholesale Access Model, hingga Public-Private Partnership.
“Setiap model memiliki kelebihan dan tantangan masing-masing. Untuk Indonesia, pendekatan hibrida yang melibatkan pemerintah daerah bisa menjadi solusi yang tepat,” ujarnya.
Selain itu, tarif layanan setelah lelang juga harus menjadi perhatian. Ia menyoroti bahwa harga untuk layanan seluler dan FWA (Fixed Wireless Access) sebaiknya dibedakan, agar tidak menggerus bisnis layanan seluler.
Ia juga meminta pengetatan aturan bagi FWA agar tidak mengganggu bisnis lainnya. Salah satunya ketentuan agar tetap mengikat kecepatan minimum 100 Mbps bagi bisnis FWA.
“Ketika tidak diikat atau tidak dijaga di kecepatan 100 Mbps, dan jika dia (FWA) boleh turun-turun, itu bisa merusak pasarnya seluler. Kalau misalnya dia dijaga harus tetap di 100 Mbps, maka seluler tak akan terganggu,” tambah Sigit.
Jika aturan ini tidak ketat dan tidak dijaga, Sigit khawatir nantinya penyelenggara yang mendapat lelang frekuensi tersebut akan menggelar layanan tersebut secara semena-mena.
“Kalau tidak diikat dengan (aturan) dia harus 100 Mbps, maka nanti yang dapat lelang frekuensi akan berpikir ‘saya akan menggelar 4G saja lah, karena 4G juga gak sampai 100Mbps,” ujar sigit.
Oleh karena itu, desain bisnis hingga kebijakannya perlu dilakukan secara matang dan tepat agar tidak mengganggu pasar seluler.
“Maka ketika (bisnis) ini didesainnya betul, desain kebijakannya betul, desain networknya betul, kemungkinan tidak akan mengganggu pasar seluler dan justru akan mengkondisikan masuknya jaringan FO (Fiber Optik),” tuturnya.