Digilife

CTRL+J APAC 2025: Wujudkan Jurnalisme Berkualitas di Era AI

Aisyah Banowati
CTRL+J APAC 2025: Wujudkan Jurnalisme Berkualitas di Era AI<br>

Uzone.id – CTRL+J APAC 2025 yang digelar oleh Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan International Fund for Public Interest Media (IFPIM) resmi usai pada, Kamis (24/7).

Seminar yang dihadiri oleh menteri, akademisi, tech platform, hingga jajaran pemimpin media ini digelar dengan tujuan untuk memperkuat kerja sama lintas negara di Asia-Pasific untuk merumuskan standar jurnalisme yang berkualitas di era kecerdasan buatan (AI).





Dalam sambutannya, Wakil Menteri Komdigi RI, Nezar Patria ungkapkan optimismenya terhadap peluang penggunaan AI dalam kerja jurnalisme. Menurutnya, AI dapat menyederhanakan berbagai pekerjaan jurnalis.

Seperti membantu dalam analisis data hingga pembuatan konten. Namun, dalam perkembangannya ini, AI harus diimbangi dengan mekanisme akuntabilitas sebab AI punya potensi untuk menciptakan kabar bohong.

Nezar juga mengingatkan kepada organisasi maupun perusahaan media agar para pekerja di bidang jurnalisme mendapatkan kompensasi yang adil dari pekerjaan mereka.

“Dalam lanskap yang semakin dipengaruhi oleh AI, memastikan bahwa jurnalis mendapatkan kompensasi yang adil untuk pekerjaan mereka menjadi masalah yang kritis,” ungkap Nezar.





Tantangan pendanaan bagi media independen

Di sisi lain, dalam sesi diskusi panel pembuka, Head of GIBS Media Leadership Think Tank, Afrika Selatan, Michael Markovitz membahas tantangan pendanaan bagi media independen.

Menurutnya, jurnalisme merupakan barang publik yang penting, namun belum didukung infrastruktur pendanaan yang memadai.

“Berbagai pemangku kepentingan dari media dan perusahaan teknologi perlu duduk bersama untuk menemukan ekosistem ekonomi terbaik yang akan membantu industri media bertahan di tengah disrupsi digital,” katanya.

Sementara itu, dalam konteks regulasi, Executive Director Associação de Jornalismo Digital  (AJOR) Brasil, Maia Fortes, menekankan pentingnya jurnalisme dengan pendekatan yang inklusif.

Menurutnya, AI harus diatur agar dampaknya dapat memperkuat ekosistem jurnalisme digital, bukan sebaliknya.

Sementara itu, Wahyu Dhyatmika selaku Ketua umum AMSI menyinggung pentingnya negara Global South untuk berkolaborasi untuk memperkuat posisi tawar media lokal.

Global South sendiri merupakan istilah yang merujuk pada negara-negara yang sering disebut sebagai negara berkembang, kurang berkembang, atau terbelakang.

Menurut Wahyu, perusahaan media lokal saat ini tidak memiliki daya tawar yang setara dengan perusahaan teknologi besar seperti Meta dan Google.

“Karena itu, para pembuat kebijakan harus membuat regulasi yang kuat untuk melindungi kepentingan perusahaan media lokal dalam menghadapi perusahaan-perusahaan teknologi tersebut,” jelasnya.

Media-media lokal selayaknya mendapat dukungan pendanaan yang berkelanjutan dari multi stakeholder yang memiliki komitmen terhadap independensi media dan jurnalisme yang bermutu di tengah kepungan teknologi AI.

Isi 'Studi Kelayakan Dana Jurnalisme Indonesia'

Pada konferensi ini, Masduki selaku Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2MEDIA) juga memaparkan Studi Kelayakan Dana Jurnalisme Indonesia sekaligus menyerahkan hasil studi tersebut ke Dewan Pers untuk dilanjutkan.

“Kita perlu segera membentuk dana abadi untuk jurnalisme publik, yang diperkuat dengan peraturan terkait, namun pembuatan kebijakan di Indonesia bisa memakan waktu yang sangat lama.”

Pendanaan yang bersumber dari anggaran negara untuk dialokasikan pada media publik, tidak serta-merta tanpa resiko. Untuk itu, perlunya menemukan cara yang strategis untuk media agar tetap independen dari intervensi negara.

Setelah pemaparan usai, Dahlan Dahi selaku anggota Dewan Pers menerima penyerahan studi ini dan berjanji menindaklanjuti hasilnya.