Headline

Canggih Tapi Tak Sempurna: Teknologi Iron Dome yang Dijebol Rudal Iran

Hani Nur Fajrina
Canggih Tapi Tak Sempurna: Teknologi Iron Dome yang Dijebol Rudal Iran

Uzone.id – Selama lebih dari satu dekade, sistem pertahanan Iron Dome milik Israel dikenal sebagai salah satu perisai udara paling efektif di dunia. Namun, serangan rudal balistik yang diluncurkan Iran pada pertengahan Juni 2025 berhasil menunjukkan bahwa bahkan teknologi secanggih Iron Dome pun memiliki celah.

Iron Dome selama ini menjadi simbol kekuatan pertahanan udara Israel. Dikembangkan bersama Amerika Serikat, sistem ini didesain untuk mencegat roket dan rudal jarak pendek hingga menengah dengan tingkat akurasi sangat tinggi. Tapi, ketika ratusan rudal balistik dan drone menyerang secara bersamaan, sistem ini terlihat kewalahan.

Lalu, bagaimana sebenarnya cara kerja Iron Dome? Dan kenapa sistem pertahanan sekelas ini bisa dijebol oleh serangan Iran?




Mengenal Iron Dome

Iron Dome dikembangkan oleh perusahaan pertahanan Israel, Rafael Advanced Defense Systems, bekerja sama dengan Israel Aerospace Industries (IAI). Sistem ini mulai dioperasikan tahun 2011 dan sudah terbukti cukup efektif dalam menahan serangan roket dari Gaza dan Lebanon.

Singkatnya, Iron Dome adalah sistem intersepsi berbasis darat yang menggunakan radar dan unit kendali tembakan untuk mendeteksi, melacak, dan menghancurkan rudal masuk sebelum mencapai target.

Foto ilustrasi: dok. DW
Foto ilustrasi: dok. DW

Jadi, begitu radar Iron Dome mendeteksi peluncuran rudal, sistem akan menghitung lintasan proyektil dan menentukan apakah rudal tersebut akan menghantam area sensitif, atau bisa dibiarkan jatuh di area kosong.

Nah, jika radar Iron Dome mendeteksi ada rudal yang mengancam – misal menuju area padat penduduk – sistem akan meluncurkan rudal Tamir.

Rudal Tamir ini adalah interseptor canggih yang dapat bermanuver di udara untuk menghantam target secara presisi. Dalam banyak kasus, Iron Dome mampu menghancurkan roket Hamas dan kelompok militan lain dengan tingkat keberhasilan yang diklaim di atas 90 persen.

Hebat, tapi ada batasnya

Hal menarik dari Iron Dome adalah sistem ini didesain untuk melawan rudal jarak pendek dan roket buatan sendiri, bukan rudal balistik berkecepatan tinggi dengan lintasan menukik dari atmosfer seperti yang digunakan Iran.

Pada serangan yang terjadi pertengahan Juni 2025, Iran menggunakan rudal-rudal balistik jarak menengah, seperti Zolfaghar dan Dezful, yang mampu meluncur dengan kecepatan supersonik. Rudal jenis ini memiliki lintasan parabola tinggi, mencapai lapisan atas atmosfer sebelum menukik tajam dengan kecepatan luar biasa menuju target.




Kecepatan inilah yang menjadi tantangan besar bagi Iron Dome. Sistem radar membutuhkan waktu untuk mendeteksi, menganalisis, lalu memberikan perintah peluncuran ke interseptor. Dalam kasus rudal balistik, waktu yang tersedia jauh lebih singkat dibanding roket biasa.

Singkatnya, ada beberapa faktor yang bikin Iron Dome kewalahan:

Pertama, jumlah rudal yang terlalu banyak. Iran tidak mengirim satu atau dua rudal. Dalam serangan besar-besaran 14-15 Juni 2025, Iran meluncurkan ratusan rudal balistik dan drone secara bersamaan.

Serangan ini didesain untuk membuat Iron Dome kewalahan alias overcapacity. Iron Dome punya keterbatasan jumlah rudal interceptor yang bisa diluncurkan dalam waktu singkat. Jadi, ketika roket yang datang melebihi kapasitasnya, beberapa akan lolos.

Kedua, kecepatan dan ketinggian rudal balistik. Berbeda dari roket-roket buatan rumahan seperti yang sering ditembakkan dari Gaza, Iran menggunakan rudal balistik jarak menengah yang jauh lebih cepat dan terbang lebih tinggi.

Untuk rudal balistik, Israel mengandalkan sistem lain seperti David’s Sling dan Arrow 3. Tapi kalau koordinasi antar sistem ini terganggu, bisa muncul celah pertahanan.

Ketiga, strategi serangan Iran yang “pintar”. Iran tampaknya juga memanfaatkan kombinasi serangan drone, rudal jelajah, dan rudal balistik untuk mengecoh sistem pertahanan Israel.

Drone dikirim lebih dulu untuk memancing respons awal. Lalu, rudal jelajah yang bisa terbang rendah menyusul untuk mengeksploitasi celah radar. Rudal balistik datang belakangan, dengan kecepatan tinggi, membuat Iron Dome kesulitan mengantisipasi semuanya sekaligus.




Rudal Tamir vs rudal Iran

Rudal Tamir yang digunakan Iron Dome memang pintar – punya sistem pemandu elektro-optik dan bisa manuver untuk mengejar target. Tapi, rudal balistik Iran seperti Zulfiqar atau Sejjil punya kecepatan Mach 5 sampai Mach 8 (sekitar 6.000-10.000 km/jam) dan melaju di ketinggian atmosfer atas, di luar jangkauan ideal Iron Dome.

Dari segi harga pun berbeda jauh. Satu rudal Tamir diperkirakan sekitar USD50.000 hingga 100.000 (setara Rp816 juta - Rp1,6 miliar) per unit. Sedangkan rudal yang digunakan Iran biayanya bisa jauh lebih murah.

Ketika Iran meluncurkan ratusan rudal dalam satu malam, Israel harus merespons dengan rudal-rudal pencegat yang sangat mahal. Ini jadi tekanan besar, baik secara operasional maupun anggaran pertahanan.

               


Teknologi hebat, tapi bukan tak terkalahkan

Iron Dome boleh menjadi salah satu sistem pertahanan paling mengesankan di dunia. Tapi serangan terbaru ini jadi pengingat bahwa tidak ada teknologi militer yang benar-benar sempurna.

Dalam dunia pertahanan, inovasi bersifat dinamis. Saat satu pihak mengembangkan teknologi canggih, pihak lawan akan mencari cara untuk mengatasinya. Rudal balistik Iran adalah contoh evolusi dari taktik militer konvensional ke arah yang lebih kompleks dan terkoordinasi.

Bagi Israel, serangan ini juga menjadi tekanan strategis. Mereka tidak hanya harus memikirkan pertahanan terhadap rudal, tapi juga menjaga persepsi publik apakah sistem seperti Iron Dome masih bisa diandalkan atau tidak.

Ketika langit menjadi medan perang, satu hal yang pasti: setiap ledakan bukan hanya soal kekuatan, tapi juga pertarungan kecerdasan teknologi antar negara.