Bukan Sekadar Sistem Bayar, QRIS Jadi Simbol Harga Diri Indonesia

Uzone.id — QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) dan GPN menjadi sorotan Amerika Serikat di tengah kenaikan tarif yang ditujukan Donald Trump ke berbagai negara. Menurut pemerintahan Trump, dua pembayaran cashless ini dianggap membatasi ruang gerak perusahaan asing, khususnya AS.
Mereka menyebut kalau AS tidak diberi kesempatan untuk menyampaikan pandangannya soal dampak GPN dan QRIS terhadap sistem pembayaran global. Intinya, AS menilai kalau mereka ‘tidak dilibatkan’ dalam hal ini, dan perusahaan AS khawatir tidak diajak berdiskusi sebelum kebijakan ini diterapkan.
Sebagai informasi saja, Amerika Serikat memiliki Mastercard dan Visa sebagai jembatan pembayaran mereka, khususnya pembayaran global.
Kritikan AS ini ternyata tidak sebatas 'tidak dilibatkan' dalam sistem pembayaran nasional, melainkan karena eksistensi sistem pembayaran mereka yang memang sudah ketinggalan zaman.
Nailul Huda sebagai pengamat ekonomi digital dari CELIOS menyebut kalau kritikan dari AS ini muncul karena mereka tidak kebagian ladang uang di negara-negara yang punya sistem pembayaran sendiri, seperti Indonesia, Malaysia dan beberapa negara lain.
“Terkait dengan QRIS, Amerika Serikat tidak kebagian periuk nasi mengenai sistem pembayaran yang dilakukan di negara-negara yang mempunyai sistem pembayaran sendiri, termasuk Indonesia,” katanya kepada Uzone.id, Selasa, (29/04).
Oleh karena itu, muncullah kritikan AS soal QRIS dkk karena masyarakat mulai meninggalkan Mastercard dan Visa. Apalagi kehadiran QRIS, BI Fast, dan GPN sendiri merupakan sistem pembayaran yang diciptakan untuk mempermudah transaksi antar nasabah.
Nailul membeberkan kalau saat ini, pembayaran dengan pembayaran menggunakan e-wallet (khususnya QRIS) jauh lebih tinggi daripada pembayaran dengan kartu. Lihat saja data CELIOS di bawah ini.

Di situ tercatat kalau penggunaan kartu debit dan kredit hanya jika digabungkan hanya sekitar 13,78 persen sedangkan penggunaan uang elektronik baik itu chip dan server based mencapai 88 persen.
“Kita lihat pembayaran dengan QRIS jauh meningkatkan pembayaran dengan kartu. Sekarang kita tidak memerlukan lagi layanan dari Mastercard dan Visa untuk melakukan transaksi. Hanya dengan menggunakan QRIS, sudah bisa dilakukan pembayaran antar platform. Bahkan lintas jenis platform, dari e-wallet ke rekening bank pun bisa,” jelas Nailul.
Lalu muncullah kritikan dari pihak Amerika Serikat (Mastercard dan Visa) yang merasa tidak dilibatkan dalam sistem pembayaran nasional.
Selain karena lebih efisien dan mudah, pembayaran QRIS dan GPN sendiri memberikan apa yang dibutuhkan pasar saat ini, yaitu cardless. Yap, bukan cashless lagi melainkan cardless, makanya adopsi QRIS sangat meningkat dan bahkan ada QRIS Cross Boarder ke negara-negara tetangga.
“Dari Mastercard dan Visa sendiri tidak menawarkan apa yang dikehendaki oleh pasar. Kata kuncinya adalah pasar yang menginginkan transaksi non kartu. Sedangkan Visa dan Mastercard masih mengandalkan kartu. Kurangnya cuan AS dari bisnis kartu ini ya karena disebabkan oleh minimnya inovasi yang dilakukan. Pasar menginginkan pake device mobile phone, bukan kartu kembali,” ujar Nailul.
Dengan keuntungan ini, perlunya Indonesia untuk tetap mempertahankan QRIS di tengah kritikan Amerika Serikat yang mencoba untuk kembali menguasai pasar dengan iming-iming tarif dagang.
“Bagi konsumen, lebih menguntungkan menggunakan QRIS. Saya pribadi menolak jika QRIS, BI Fast, dan GPN menjadi alat tukar kepentingan untuk tarif dagang AS. Tidak semua apa yang diinginkan oleh AS, bisa kita turuti,” ujarnya.
Nailul meminta pemerintah untuk tetap mempertahankan kebijakan QRIS, karena jika nantinya hal ini sampai diganggu oleh Amerika Serikat, maka yang dirugikan adalah pihak Indonesia karena masyarakat tidak mendapatkan layanan yang ideal untuk transaksi keuangan.
“Efisiensi transaksi keuangan akan terganggu. Ini tidak baik bagi kestabilan moneter atau sistem pembayaran nasional,” tuturnya.